Sabtu, 19 Januari 2013

Makalah PKn - Sistem Politik

Diposting oleh Elysian di 14.02 0 komentar

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian sistem Politik
   1.      Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. 
   2.      Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi.Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
  3.      Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara
Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

   4.      Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.

B.     Proses Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
-          Masa Orde Lama
-          Masa Orde Baru
-          Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari   aspek :
-          Penyaluran tuntutan
-          Pemeliharaan nilai
-          Kapabilitas
-          Integrasi vertical
-          Integrasi horizontal
-          Gaya politik
-          Kepemimpinan
-          Partisipasi massa
-          Keterlibatan militer
-          Aparat Negara
-          Stabilitas

BAB III
Sistem Politik Masa Orde Baru

     A.    Sistem Politik Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahanSoekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpanganyang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan denganpraktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyatyang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yangditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama denganPBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadianggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelahIndonesia diterima pertama kalinya.
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proseskomunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan,presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lainhanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggotaDPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri BintangPamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepassedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
 Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3], melukiskan perkembangan strukturkekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik.Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi.Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madukomunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritikpemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis danmerebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politikyang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politikdimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan padafase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologiyang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini padaperiode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunialahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegangnegara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan sepertiLSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadimanakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncakpada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era OrdeBaru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4] bisa sedikit menguakstruktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awalpertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran pemerintah sangat besar.
Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksapemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunanpolitik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meskisebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadidalam sistem politik Indonesia.Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasimenempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral.
Ia tak hanya mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi jugaberperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat.Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjagadan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telahdibentuk Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan danketeraturan itu demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraanrakyat”.Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggsseperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas,overlapping dan heteroginitas
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau OrdeBaru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadaporang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminaldilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihakyang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dansebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatanaturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksikekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuanutamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yangdidominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR danMPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal inimengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetorkepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dandaerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soehartomerestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitaspolitik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopangkekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional,Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yangtinggi.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannyaberada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkanoleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoatradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yangmereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hinggake Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izindengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatanuntuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah HarianIndonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian inidikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meskibeberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itumencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akanmenyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkatabahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkanperdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilihuntuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
            Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan G 30 S/PKI. Akibat pemberontakan G 30 S/PKI pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mengajukan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) kepada Pemerintah, yaitu:
a.    Bubarkan PKI;
b.    Turunkan harga/perbaiki ekonomi; dan
c.    Retoll kabinet Dwikora.
            Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah yang isinya antara lain: ”Memerintahkan kepada Menteri Pangab Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.” (Arif Hidayat, 2006: 100).
Berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tersebut kemudian diambil tindakan dengan penetapan pembubaran dan pelarang PKI beserta seluruh ormasnya dari tingkat pusat sampai ke daerah terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, yang dituangkan dalam keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Dengan demikian ini adalah pelarangan kedua suatu partai politik yang hidup di Indonesia. Pada masa Orba, Pemerintah mengadakan perubahan di bidang partai politik dengan pembentukan Golongan Karya sebagai partai pemerintah. Hal ini didorong adanya Ketetapan MPR No. 11/MPRS/1966 yang memerintahkan agar pemerintah segera menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968. Dalam Pasal 3 nya dimuat ketentuan mengenai komposisi DPR dan DPRD yang terdiri dari golongan politik dan golongan karya.
Upaya menguasai pegawai negeri sipil (PNS) diawali dengan pembentukan Kokar Mendagri yang kemudian diperluas ke seluruh jajaran birokrasi dengan nama Korpri yang dimasukkan sebagai salah satu komponen Golkar. (Arif Hidayat, 2006: 117).





     B.     Konflik yang Terjadi Pada Masa Orde Baru


Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintahadalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program iniadalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuanterhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah.Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yangsentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran ituorang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara laindalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1]Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalampembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat olehketidaksukaan terhadap para transmigran.


BAB IV
Sistem Politik Masa Reformasi
                                    
     A.    Sistem Politik Masa Reformasi

Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back tersebut.
Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998.Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga “Orde Reformasi”. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh O’Donnell dan Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara.Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik.Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai politik banyak.Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu di tahun 1999.Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu paling bersih.
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia.Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Awal masa era reformasi yaitu pada massa presiden Soeharto, dimana pada saat itu sangat kacau, sebabnya pemerintahannya lenser seiringgan dengan memundurkan diri menjadi presiden pada saat itu. Hal ini berarkibatkan banya kejadian-kejadian yang sengat menyedihkan sebab semuanya mengalami kerugian yang amat mendalam pada saat terjadinya reformasi secara besar-besaran yang terjadi pada tahun 1998.
Terjadinya transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju proses demokratisasi sejak itu menjadi terbuka lebih lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat dari adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih birokasi dan  militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik, juga perubahan kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan terdesentralisasi.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi.Sebagai orde transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi.Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran transisi?
Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya partisipasi politik.Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya.Sebuah sistem politik yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.
Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan agamawan sebagai sosok nabi.
Secara ringkas, untuk lebih jelasnya berikut beberapa reformasi politik yang dilakukan di Indonesia pada masa era reformasi, diantaranya ialah :
  1. Penyelenggaraan pemilu sebagai wujud partisipasi rakyat. Jika pada masa orba pemilu yang diadakan lima tahun sekali hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto dengan memobilisasi massa rakyat, tapi sekarang dilakukan dengan sistem distrik dan tidak ada lagi ketakutan untuk menentukan pilihan terhadap partai dan tokoh yang dikehendaki.
  2. Reformasi struktur dan fungsi politik yuang melekat pada struktur trersebut. Jika pada masa orba pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR, tapi kenyataannya MPR tidak punya kekuatan cukup untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Selain itu reformasi struktur politik dan pemerintahan juga menyentuh usaha penguatan fungsi legislasi DPR, diantaranya DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, dan lain sebaganya.
  3. Reformasi sistem kepartaian. Pada masa orba, parpol tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsinya, tapi kini setiap parpol dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya asal tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
  4. Reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Selama masa orba penyelenggaraan pemda diwarnai kuatnya peran pusat dalam menetukan pembangunan di daerah. Namun setelah adanya reformasi kini pembangunan daerah dapat sesuai dengan aspirasi dan potensi yang ada di daerah.
Pada masa reformasi, masyarakat di beri keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam, sehingga masyarakat umum atau rakyat pun lebih terasa bebas dalam menyalurkan aspirasinya.Selain itu beberapa keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakatpun semakin beragam dan terlihat semakin aktif dalam memengaruhi kebijakan publik yang berkenaan dengan bidang yang mereka tekuni.Sehingga dari sisni dapat terlihat bahwa aspirasi masyarakatpun semakin dapat tereksplore dengan mudah dan bebas tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah seperti selama masa orde lama dan baru.

      Beberapa hal yang terjadi pada masa reformasi :
a.       Penyaluran tuntutan : tinggi dan terpenuhi
b.      Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM tinggi
c.       Kapabilitas SDA : disesuaikan dengan otonomi daerah
d.      Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
e.       Integrasi horisontal :  nampak, muncul kebebasan (euforia)
f.       Gaya politik : pragmatik
g.      Kepemimpinan : sipil, purnawirawan dan politisi
h.      Partisipasi masa : tinggi
i.        Keterlibatan militer : dibatasi
j.        Aparat negara : harus loyal kepada negara bukan pemerintah
k.      Stabilitas : instabil

    B.     Politik Hukum di Masa Reformasi

Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi pada masa Orde Baru telah menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. (Arif Hidayat, 2009: 149). Tetapi di balik itu terjadi distorasi di bidang politik, khususnya partai politik (PPP dan PDI) yang sekedar lipstik demokrasi Pancasila. Realitasnya, hanya Golkar (karena berbagai macam fasilitas dari penguasa) yang semakin perkasa.
Tahun 1997, krisis finansial global mulai melanda dunia. Tahun 1998, krisis tersebut akhirnya juga menerpa di Indonesia. Demonstrasi dan desakan mundur Presiden Soeharto terjadi dimana-mana, menuntut adanya reformasi. Adapun tuntutan reformasi tersbeut meliputi:
1.    hapuskan KKN;
2.    penegakan hukum;
3.    demokratisasi dalam segala bidang;
4.    penegakan hak asasi manusia;
5.    otonomi daerah yang seluas-luasnya;
6.    redifinisi, reaktualisasi dan reposisi dwi fungsi ABRI; serta
7.    kebebasan pers.
Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia. Pemerintahan Presiden Habibie mulai mengadakan usaha untuk mereformasi diri dengan mewujudkan tuntutan-tuntutan reformasi tersebut di atas.
            Menurut Suwoto Mulyo Sudarmo, politik hukum yang harus digunakan untuk melakukan reformasi setidak-tidaknya harus meliputi beberapa hal sebagai berikut.
1.    Mengurangi kekuasaan Presiden dengan cara mendestribusikan kekuasaan secara vertikal dan membagikan kekuasaan secara horisontal;
2.    mengubah kekuasaan yang sentralistik dan mengganti yang ke arah desentralistik;
3.    meningkatkan peran DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dan meningkatkan peran DPR di bidang legislatif;
4.    mengubah struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bikameral;
5.    mengembalikan hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan pemilu dengan sistem distrik dan pemilihan Presiden dan Wakilnya langsung oleh rakyat;
6.    menjaga agar terjadi kekuasaan yang seimbang antara cabang-cabang kekuasaan melalui sistem cek and balance;
7.    menata sistem peradilan agar tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan;
8.    membangun struktur perekonomian yang memberikan jaminan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat;
9.    amandemen konstitusi yang didalamnya memerinci hak asasi manusia, kewajiban penyelenggara negara dan pembatasan atau pengendalian kekuasaan pemerintah (Suwoto Mulyo Sudarmo, 1997: 45-46).
Menurut Arbi Sanit, substansi reformasi politik harus menyangkut perubahan yang meliputi unsur sistem politik dan aspek kehidupan politik. Aspek sistem politik yang harus dirubah menyangkut struktur, kultur, proses dan produksinya.( Arbi Sanit, 1998: 105106).
Untuk mengakomodir desakan tuntutan reformasi, MPR hasil pemilu 1997 mengadakan sidang istimewa tahun 1998. Salah satu ketetapan MPR yang erat kaitannya dengan politik hukum kepartaian adalah ketetapan MPR No. 14/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. 3/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang di dalamnya mempercepat pelaksanaan pemilu berikutnya dari rencana semula tahun 2002 menjadi selambat-lambatnya harus diadakan pada bulan Juni 1999. Atas dasar arahan kebijakan yang telah digariskan melalui berbagai ketetapan MPR yang dihasilkan oleh MPR dalam sidang istimewa tersebut di muka, Pemerintah bersama DPR melakukan perubahan berbagai undang-undang di bidang politik. Sebagai hasilnya adalah ketika rancangan undang-undang (RUU Kepartaian, RUU Pemilu, RUU Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) pada tanggal 28 Januari 1999 disetujui secara aklamasi dalam rapat paripurna DPR yang kemudian pada tanggal 1 Pebruari 1999 disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Ketiga undang-undang politik tersebut adalah :
1.      UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (LN No. 2/1999. TLN No. 3809);
2.      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu (LN No. 23/1999. TLN No. 3810);
3.      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (LN. 24/1999. TLN No. 3811).
Dengan berlakunya undang-undang tersebut telah membuka babak baru perjalan sistem politik di Indonesia, yaitu transformasi dari sistem sentralistik otoritarian ke arah sistem politik desentralistik demokratis. (Arif Hidayat, 2006: 162).
Arif Hidayat antara lain menyatakan bahwa karakteristik menonjol yang dapat dilihat undang-undang tersebut adalah:

1.    Terjadi perubahan fundamental dalam sistem kepartaian. Sistem multipartai dipakai untuk menggantikan sistem kepartaian terbatas yang dianut oleh rezim orde baru.
2.    Terjadi perubahan dan penambahan dalam asas, organisasi penyelenggara, pengawas dan pemantau pemilu serta peserta pemilu.
3.    Dilakukan penataan ulang susunan kedudukan MPR, DPR, DPRD (Arif Hidayat, 2006: 162).

Kebebasan politik yang selama orde baru terpasung, di era reformasi kungkungan itu lenyap dan berganti dengan munculnya eforia kebebasan di semua bidang kehidupan. Dalam kehidupan politik, eforia kebebasan ditandai dengan tumbuh dan menjamurnya partai-partai politik baru.

BAB VI
Penutup

     A.    Kesimpulan

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat.Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia antara lain : Sistem politik masa orde lama , orde baru , dan reformasi .
Sistem politik Indonesia itu sendiri diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara.Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet.Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya.




      B.     Saran

Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA ”.
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.





Sabtu, 19 Januari 2013

Makalah PKn - Sistem Politik

Diposting oleh Elysian di 14.02 0 komentar

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian sistem Politik
   1.      Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. 
   2.      Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi.Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
  3.      Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara
Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

   4.      Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.

B.     Proses Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
-          Masa Orde Lama
-          Masa Orde Baru
-          Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari   aspek :
-          Penyaluran tuntutan
-          Pemeliharaan nilai
-          Kapabilitas
-          Integrasi vertical
-          Integrasi horizontal
-          Gaya politik
-          Kepemimpinan
-          Partisipasi massa
-          Keterlibatan militer
-          Aparat Negara
-          Stabilitas

BAB III
Sistem Politik Masa Orde Baru

     A.    Sistem Politik Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahanSoekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpanganyang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan denganpraktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyatyang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yangditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama denganPBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadianggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelahIndonesia diterima pertama kalinya.
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proseskomunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan,presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lainhanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggotaDPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri BintangPamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepassedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
 Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3], melukiskan perkembangan strukturkekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik.Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi.Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madukomunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritikpemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis danmerebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politikyang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politikdimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan padafase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologiyang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini padaperiode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunialahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegangnegara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan sepertiLSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadimanakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncakpada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era OrdeBaru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4] bisa sedikit menguakstruktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awalpertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran pemerintah sangat besar.
Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksapemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunanpolitik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meskisebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadidalam sistem politik Indonesia.Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasimenempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral.
Ia tak hanya mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi jugaberperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat.Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjagadan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telahdibentuk Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan danketeraturan itu demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraanrakyat”.Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggsseperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas,overlapping dan heteroginitas
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau OrdeBaru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadaporang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminaldilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihakyang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dansebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatanaturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksikekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuanutamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yangdidominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR danMPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal inimengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetorkepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dandaerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soehartomerestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitaspolitik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopangkekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional,Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yangtinggi.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannyaberada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkanoleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoatradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yangmereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hinggake Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izindengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatanuntuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah HarianIndonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian inidikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meskibeberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itumencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akanmenyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkatabahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkanperdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilihuntuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
            Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan G 30 S/PKI. Akibat pemberontakan G 30 S/PKI pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mengajukan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) kepada Pemerintah, yaitu:
a.    Bubarkan PKI;
b.    Turunkan harga/perbaiki ekonomi; dan
c.    Retoll kabinet Dwikora.
            Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah yang isinya antara lain: ”Memerintahkan kepada Menteri Pangab Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.” (Arif Hidayat, 2006: 100).
Berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tersebut kemudian diambil tindakan dengan penetapan pembubaran dan pelarang PKI beserta seluruh ormasnya dari tingkat pusat sampai ke daerah terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, yang dituangkan dalam keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Dengan demikian ini adalah pelarangan kedua suatu partai politik yang hidup di Indonesia. Pada masa Orba, Pemerintah mengadakan perubahan di bidang partai politik dengan pembentukan Golongan Karya sebagai partai pemerintah. Hal ini didorong adanya Ketetapan MPR No. 11/MPRS/1966 yang memerintahkan agar pemerintah segera menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968. Dalam Pasal 3 nya dimuat ketentuan mengenai komposisi DPR dan DPRD yang terdiri dari golongan politik dan golongan karya.
Upaya menguasai pegawai negeri sipil (PNS) diawali dengan pembentukan Kokar Mendagri yang kemudian diperluas ke seluruh jajaran birokrasi dengan nama Korpri yang dimasukkan sebagai salah satu komponen Golkar. (Arif Hidayat, 2006: 117).





     B.     Konflik yang Terjadi Pada Masa Orde Baru


Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintahadalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program iniadalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuanterhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah.Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yangsentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran ituorang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara laindalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1]Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalampembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat olehketidaksukaan terhadap para transmigran.


BAB IV
Sistem Politik Masa Reformasi
                                    
     A.    Sistem Politik Masa Reformasi

Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back tersebut.
Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998.Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga “Orde Reformasi”. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh O’Donnell dan Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara.Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik.Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai politik banyak.Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu di tahun 1999.Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu paling bersih.
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia.Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Awal masa era reformasi yaitu pada massa presiden Soeharto, dimana pada saat itu sangat kacau, sebabnya pemerintahannya lenser seiringgan dengan memundurkan diri menjadi presiden pada saat itu. Hal ini berarkibatkan banya kejadian-kejadian yang sengat menyedihkan sebab semuanya mengalami kerugian yang amat mendalam pada saat terjadinya reformasi secara besar-besaran yang terjadi pada tahun 1998.
Terjadinya transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju proses demokratisasi sejak itu menjadi terbuka lebih lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat dari adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih birokasi dan  militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik, juga perubahan kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan terdesentralisasi.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi.Sebagai orde transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi.Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran transisi?
Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya partisipasi politik.Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya.Sebuah sistem politik yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.
Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan agamawan sebagai sosok nabi.
Secara ringkas, untuk lebih jelasnya berikut beberapa reformasi politik yang dilakukan di Indonesia pada masa era reformasi, diantaranya ialah :
  1. Penyelenggaraan pemilu sebagai wujud partisipasi rakyat. Jika pada masa orba pemilu yang diadakan lima tahun sekali hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto dengan memobilisasi massa rakyat, tapi sekarang dilakukan dengan sistem distrik dan tidak ada lagi ketakutan untuk menentukan pilihan terhadap partai dan tokoh yang dikehendaki.
  2. Reformasi struktur dan fungsi politik yuang melekat pada struktur trersebut. Jika pada masa orba pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR, tapi kenyataannya MPR tidak punya kekuatan cukup untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Selain itu reformasi struktur politik dan pemerintahan juga menyentuh usaha penguatan fungsi legislasi DPR, diantaranya DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, dan lain sebaganya.
  3. Reformasi sistem kepartaian. Pada masa orba, parpol tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsinya, tapi kini setiap parpol dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya asal tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
  4. Reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Selama masa orba penyelenggaraan pemda diwarnai kuatnya peran pusat dalam menetukan pembangunan di daerah. Namun setelah adanya reformasi kini pembangunan daerah dapat sesuai dengan aspirasi dan potensi yang ada di daerah.
Pada masa reformasi, masyarakat di beri keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam, sehingga masyarakat umum atau rakyat pun lebih terasa bebas dalam menyalurkan aspirasinya.Selain itu beberapa keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakatpun semakin beragam dan terlihat semakin aktif dalam memengaruhi kebijakan publik yang berkenaan dengan bidang yang mereka tekuni.Sehingga dari sisni dapat terlihat bahwa aspirasi masyarakatpun semakin dapat tereksplore dengan mudah dan bebas tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah seperti selama masa orde lama dan baru.

      Beberapa hal yang terjadi pada masa reformasi :
a.       Penyaluran tuntutan : tinggi dan terpenuhi
b.      Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM tinggi
c.       Kapabilitas SDA : disesuaikan dengan otonomi daerah
d.      Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
e.       Integrasi horisontal :  nampak, muncul kebebasan (euforia)
f.       Gaya politik : pragmatik
g.      Kepemimpinan : sipil, purnawirawan dan politisi
h.      Partisipasi masa : tinggi
i.        Keterlibatan militer : dibatasi
j.        Aparat negara : harus loyal kepada negara bukan pemerintah
k.      Stabilitas : instabil

    B.     Politik Hukum di Masa Reformasi

Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi pada masa Orde Baru telah menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. (Arif Hidayat, 2009: 149). Tetapi di balik itu terjadi distorasi di bidang politik, khususnya partai politik (PPP dan PDI) yang sekedar lipstik demokrasi Pancasila. Realitasnya, hanya Golkar (karena berbagai macam fasilitas dari penguasa) yang semakin perkasa.
Tahun 1997, krisis finansial global mulai melanda dunia. Tahun 1998, krisis tersebut akhirnya juga menerpa di Indonesia. Demonstrasi dan desakan mundur Presiden Soeharto terjadi dimana-mana, menuntut adanya reformasi. Adapun tuntutan reformasi tersbeut meliputi:
1.    hapuskan KKN;
2.    penegakan hukum;
3.    demokratisasi dalam segala bidang;
4.    penegakan hak asasi manusia;
5.    otonomi daerah yang seluas-luasnya;
6.    redifinisi, reaktualisasi dan reposisi dwi fungsi ABRI; serta
7.    kebebasan pers.
Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia. Pemerintahan Presiden Habibie mulai mengadakan usaha untuk mereformasi diri dengan mewujudkan tuntutan-tuntutan reformasi tersebut di atas.
            Menurut Suwoto Mulyo Sudarmo, politik hukum yang harus digunakan untuk melakukan reformasi setidak-tidaknya harus meliputi beberapa hal sebagai berikut.
1.    Mengurangi kekuasaan Presiden dengan cara mendestribusikan kekuasaan secara vertikal dan membagikan kekuasaan secara horisontal;
2.    mengubah kekuasaan yang sentralistik dan mengganti yang ke arah desentralistik;
3.    meningkatkan peran DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dan meningkatkan peran DPR di bidang legislatif;
4.    mengubah struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bikameral;
5.    mengembalikan hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan pemilu dengan sistem distrik dan pemilihan Presiden dan Wakilnya langsung oleh rakyat;
6.    menjaga agar terjadi kekuasaan yang seimbang antara cabang-cabang kekuasaan melalui sistem cek and balance;
7.    menata sistem peradilan agar tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan;
8.    membangun struktur perekonomian yang memberikan jaminan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat;
9.    amandemen konstitusi yang didalamnya memerinci hak asasi manusia, kewajiban penyelenggara negara dan pembatasan atau pengendalian kekuasaan pemerintah (Suwoto Mulyo Sudarmo, 1997: 45-46).
Menurut Arbi Sanit, substansi reformasi politik harus menyangkut perubahan yang meliputi unsur sistem politik dan aspek kehidupan politik. Aspek sistem politik yang harus dirubah menyangkut struktur, kultur, proses dan produksinya.( Arbi Sanit, 1998: 105106).
Untuk mengakomodir desakan tuntutan reformasi, MPR hasil pemilu 1997 mengadakan sidang istimewa tahun 1998. Salah satu ketetapan MPR yang erat kaitannya dengan politik hukum kepartaian adalah ketetapan MPR No. 14/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. 3/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang di dalamnya mempercepat pelaksanaan pemilu berikutnya dari rencana semula tahun 2002 menjadi selambat-lambatnya harus diadakan pada bulan Juni 1999. Atas dasar arahan kebijakan yang telah digariskan melalui berbagai ketetapan MPR yang dihasilkan oleh MPR dalam sidang istimewa tersebut di muka, Pemerintah bersama DPR melakukan perubahan berbagai undang-undang di bidang politik. Sebagai hasilnya adalah ketika rancangan undang-undang (RUU Kepartaian, RUU Pemilu, RUU Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) pada tanggal 28 Januari 1999 disetujui secara aklamasi dalam rapat paripurna DPR yang kemudian pada tanggal 1 Pebruari 1999 disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Ketiga undang-undang politik tersebut adalah :
1.      UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (LN No. 2/1999. TLN No. 3809);
2.      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu (LN No. 23/1999. TLN No. 3810);
3.      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (LN. 24/1999. TLN No. 3811).
Dengan berlakunya undang-undang tersebut telah membuka babak baru perjalan sistem politik di Indonesia, yaitu transformasi dari sistem sentralistik otoritarian ke arah sistem politik desentralistik demokratis. (Arif Hidayat, 2006: 162).
Arif Hidayat antara lain menyatakan bahwa karakteristik menonjol yang dapat dilihat undang-undang tersebut adalah:

1.    Terjadi perubahan fundamental dalam sistem kepartaian. Sistem multipartai dipakai untuk menggantikan sistem kepartaian terbatas yang dianut oleh rezim orde baru.
2.    Terjadi perubahan dan penambahan dalam asas, organisasi penyelenggara, pengawas dan pemantau pemilu serta peserta pemilu.
3.    Dilakukan penataan ulang susunan kedudukan MPR, DPR, DPRD (Arif Hidayat, 2006: 162).

Kebebasan politik yang selama orde baru terpasung, di era reformasi kungkungan itu lenyap dan berganti dengan munculnya eforia kebebasan di semua bidang kehidupan. Dalam kehidupan politik, eforia kebebasan ditandai dengan tumbuh dan menjamurnya partai-partai politik baru.

BAB VI
Penutup

     A.    Kesimpulan

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat.Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia antara lain : Sistem politik masa orde lama , orde baru , dan reformasi .
Sistem politik Indonesia itu sendiri diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara.Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet.Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya.




      B.     Saran

Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA ”.
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.





 

Coretan Gadis Buta Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea