BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sistem
Politik
1.
Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks
dan terorganisasi.
2.
Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang
artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam
kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata
cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan
Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan
pribadi.Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan
organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan
yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu
wilayah tertentu.
3.
Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan
pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain
untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan
dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan
Negara dan hubungan Negara dengan Negara
Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah
Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur
politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang
langggeng
4.
Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau
keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan
kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan
tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi
negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam
Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang
seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan
infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan
tujuan-tujuan masyarakat/Negara.Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur
politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia
diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang
akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media
massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure
Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure),
dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui
badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya
partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan
aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Proses Politik Di
Indonesia
Sejarah Sistem
politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa
berikut ini:
-
Masa Orde Lama
-
Masa Orde Baru
-
Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara
sistematis dari aspek :
-
Penyaluran tuntutan
-
Pemeliharaan nilai
-
Kapabilitas
-
Integrasi vertical
-
Integrasi horizontal
-
Gaya politik
-
Kepemimpinan
-
Partisipasi massa
-
Keterlibatan militer
-
Aparat Negara
-
Stabilitas
BAB III
Sistem Politik Masa Orde Baru
A.
Sistem Politik
Masa Orde Baru
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk
kepada era pemerintahanSoekarno. Orde
Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpanganyang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan denganpraktik korupsi
yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyatyang kaya
dan miskin juga semakin melebar.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik
Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan
yangditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama denganPBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadianggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelahIndonesia diterima pertama kalinya.
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh
proseskomunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu
tangan,presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat
tetapi tak lainhanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan
oleh anggotaDPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri
BintangPamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh
lepassedikitpun
ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Jamie
Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3], melukiskan perkembangan strukturkekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya
monopoli komunikasi politik.Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik
Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974ditandai
dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi.Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif
bebas. Di sinilah bulan madukomunikasi
politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritikpemerintahan
lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis danmerebaknya
kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan
pembentukan partai politikyang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politikdimana aktivitas politik, pers dan pernyataan
masyarakat mulai dibatasi. Dan padafase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat
yang harus disesuaikan dengan ideologiyang
dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini padaperiode 1990-1998, monopoli politik yang sudah
sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat
gelombang demokratisasi di dunialahirlah apa
yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegangnegara
tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan sepertiLSM dan
kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadimanakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak
awal tahun dan berpuncakpada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada
era OrdeBaru ?
Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4] bisa sedikit menguakstruktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut
Cosmas, pada masa awalpertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran
pemerintah sangat besar.
Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya
dan hankam yang memaksapemerintah
mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunanpolitik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya
ditangani pemerintah meskisebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini
jelas monopoli komunikasi politik terjadidalam sistem politik Indonesia.Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan
komunikasi politik, birokrasimenempatkan dirinya pada posisi yang cukup
sentral.
Ia tak hanya mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada
lembaga-lembaga negara tapi jugaberperan sebagai alat untuk
menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat.Namun terlihat di sini bahwa
dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjagadan kalau bisa bahkan
dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telahdibentuk Orde Baru.
Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan danketeraturan itu demi berlangsungnya pembangunan
nasional untuk kesejahteraanrakyat”.Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam
proses komunikasi ini ? Fred W Riggsseperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia
Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas,overlapping dan heteroginitas
Pada tahap
awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau OrdeBaru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadaporang-orang yang terkait dengan
Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminaldilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili
pihakyang dikonstruksikan Soeharto
sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dansebagian dari mereka yang
terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui
pembuatanaturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk
menyeleksikekuatan lama
ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai
tujuanutamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yangdidominasi militer namun dengan nasehat dari
ahli ekonomi didikan Barat. DPR danMPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal inimengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar
oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetorkepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dandaerah.
Soeharto siap
dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soehartomerestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitaspolitik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di
pihak lain. Dengan ditopangkekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta
dukungan kapital internasional,Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yangtinggi.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannyaberada di bawah
warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek,dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkanoleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoatradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yangmereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hinggake
Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izindengan
catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatanuntuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah HarianIndonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Harian inidikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meskibeberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di
sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde
Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itumencapai kurang
lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akanmenyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkatabahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkanperdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi
memilihuntuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada tanggal 30
September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan
G 30 S/PKI. Akibat pemberontakan G 30 S/PKI pada tanggal 10 Januari 1966 para
demonstran mengajukan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) kepada
Pemerintah, yaitu:
a.
Bubarkan PKI;
b.
Turunkan
harga/perbaiki ekonomi; dan
c.
Retoll kabinet
Dwikora.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno
mengeluarkan Surat Perintah yang isinya antara lain: ”Memerintahkan kepada
Menteri Pangab Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu
demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan
dan jalannya revolusi.” (Arif Hidayat, 2006: 100).
Berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tersebut kemudian diambil tindakan dengan penetapan pembubaran dan pelarang PKI beserta seluruh
ormasnya dari tingkat pusat sampai ke daerah terhitung mulai tanggal 12 Maret
1966, yang dituangkan dalam keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966. Dengan demikian ini adalah pelarangan kedua suatu partai politik yang
hidup di Indonesia. Pada masa Orba, Pemerintah mengadakan perubahan di bidang
partai politik dengan pembentukan Golongan Karya sebagai partai pemerintah. Hal
ini didorong adanya Ketetapan MPR No. 11/MPRS/1966 yang memerintahkan agar
pemerintah segera menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli
1968. Dalam Pasal 3 nya dimuat ketentuan mengenai komposisi DPR dan DPRD yang
terdiri dari golongan politik dan golongan karya.
Upaya menguasai pegawai negeri sipil (PNS) diawali dengan pembentukan Kokar
Mendagri yang kemudian diperluas ke seluruh jajaran birokrasi dengan nama
Korpri yang dimasukkan sebagai salah satu komponen Golkar. (Arif Hidayat, 2006:
117).
B.
Konflik
yang Terjadi Pada Masa Orde Baru
Di masa Orde
Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.Setiap hari media massa seperti radio dan
televisi mendengungkan slogan"persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintahadalah
meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa,
Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,dan
Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program iniadalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuanterhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan
bantuan pemerintah.Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yangsentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran ituorang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara
laindalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1]Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh
rasa diperlakukan tidak adil dalampembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat olehketidaksukaan
terhadap para transmigran.
BAB IV
Sistem Politik Masa Reformasi
A.
Sistem Politik
Masa Reformasi
Sistem
politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses
pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah
proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini
terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay
and demand). Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel
input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran
dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau
kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses
konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan
terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian
seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan pernah
berakhir karena adanya proses feed-back tersebut.
Pasca
runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun
1998.Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga
“Orde Reformasi”. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh
O’Donnell dan Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara
teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa
yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan
hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi
individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai
antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika
Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang
selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara.Konsekuensi dari liberalisasi
politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik.Ledakan ini
terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root),
ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa,
amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi
politik di kalangan elit politik ditandai dengan maraknya pendirian partai
politik.
Sebagai
perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik
berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai
politik banyak.Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya
pemilu di tahun 1999.Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua
setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu
paling bersih.
Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir.Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Era Reformasi di Indonesia dimulai pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto
saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia.Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun
luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Awal
masa era reformasi yaitu pada massa presiden Soeharto, dimana pada saat itu
sangat kacau, sebabnya pemerintahannya lenser seiringgan dengan memundurkan
diri menjadi presiden pada saat itu. Hal ini berarkibatkan banya
kejadian-kejadian yang sengat menyedihkan sebab semuanya mengalami kerugian
yang amat mendalam pada saat terjadinya reformasi secara besar-besaran yang terjadi
pada tahun 1998.
Terjadinya transfer kekuasaan dari Presiden
Soeharto kepada wakil presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa
perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat
makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia
dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling
tidak, pintu menuju proses demokratisasi sejak itu menjadi terbuka lebih lebar.
Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat dari adanya perubahan relasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak
sentralistis ke corak yang lebih birokasi dan militer sebagai kekuatan
profesional tetapi netral secara politik, juga perubahan kerangka kelembagaan
lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang lebih
demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan terdesentralisasi.
Pemilu
1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi.Sebagai orde transisi politik
di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai
sistem politik yang juga bersifat transisi.Pertanyaan mendasar kemudian adalah,
sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran transisi?
Kran
demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya
partisipasi politik.Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan
yang telah memperhitungkan sebelumnya.Sebuah sistem politik yang sangat akut
ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat
seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah
sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di
mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem
politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga
berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah
kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk
terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.
Sehingga
proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan
berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa
tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia
yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah
rakyat dengan benang sutra.
Reformasi
yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa
atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan
di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi
juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini,
masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu
bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem politik
yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya
sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu
politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan
agamawan sebagai sosok nabi.
Secara ringkas, untuk lebih jelasnya berikut
beberapa reformasi politik yang dilakukan di Indonesia pada masa era reformasi,
diantaranya ialah :
- Penyelenggaraan pemilu sebagai
wujud partisipasi rakyat. Jika pada masa orba pemilu yang diadakan lima
tahun sekali hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto dengan
memobilisasi massa rakyat, tapi sekarang dilakukan dengan sistem distrik
dan tidak ada lagi ketakutan untuk menentukan pilihan terhadap partai dan
tokoh yang dikehendaki.
- Reformasi struktur dan fungsi
politik yuang melekat pada struktur trersebut. Jika pada masa orba
pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR, tapi kenyataannya MPR
tidak punya kekuatan cukup untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Selain itu reformasi struktur politik dan pemerintahan juga menyentuh
usaha penguatan fungsi legislasi DPR, diantaranya DPR memiliki fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan, dan lain sebaganya.
- Reformasi sistem kepartaian.
Pada masa orba, parpol tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan
fungsinya, tapi kini setiap parpol dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai
dengan kehendak dan cita-citanya asal tidak bertentangan dengan pancasila
dan UUD 1945.
- Reformasi penyelenggaraan
pemerintah daerah. Selama masa orba penyelenggaraan pemda diwarnai kuatnya
peran pusat dalam menetukan pembangunan di daerah. Namun setelah adanya
reformasi kini pembangunan daerah dapat sesuai dengan aspirasi dan potensi
yang ada di daerah.
Pada masa reformasi, masyarakat di beri
keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam,
sehingga masyarakat umum atau rakyat pun lebih terasa bebas dalam menyalurkan
aspirasinya.Selain itu beberapa keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakatpun
semakin beragam dan terlihat semakin aktif dalam memengaruhi kebijakan publik
yang berkenaan dengan bidang yang mereka tekuni.Sehingga dari sisni dapat
terlihat bahwa aspirasi masyarakatpun semakin dapat tereksplore dengan mudah
dan bebas tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah seperti selama masa orde
lama dan baru.
Beberapa hal yang terjadi pada masa
reformasi :
a.
Penyaluran
tuntutan : tinggi dan terpenuhi
b.
Pemeliharaan
nilai : Penghormatan HAM tinggi
c.
Kapabilitas SDA
: disesuaikan dengan otonomi daerah
d.
Integrasi
vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
e.
Integrasi
horisontal : nampak, muncul kebebasan
(euforia)
f.
Gaya politik :
pragmatik
g.
Kepemimpinan :
sipil, purnawirawan dan politisi
h.
Partisipasi
masa : tinggi
i.
Keterlibatan
militer : dibatasi
j.
Aparat negara :
harus loyal kepada negara bukan pemerintah
k.
Stabilitas :
instabil
B. Politik Hukum di Masa
Reformasi
Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi pada
masa Orde Baru telah menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. (Arif
Hidayat, 2009: 149). Tetapi di balik itu terjadi distorasi di bidang politik,
khususnya partai politik (PPP dan PDI) yang sekedar lipstik demokrasi
Pancasila. Realitasnya, hanya Golkar (karena berbagai macam fasilitas dari
penguasa) yang semakin perkasa.
Tahun 1997, krisis finansial global mulai
melanda dunia. Tahun 1998, krisis tersebut akhirnya juga menerpa di Indonesia.
Demonstrasi dan desakan mundur Presiden Soeharto terjadi dimana-mana, menuntut
adanya reformasi. Adapun tuntutan
reformasi tersbeut meliputi:
1.
hapuskan KKN;
2.
penegakan
hukum;
3.
demokratisasi
dalam segala bidang;
4.
penegakan hak
asasi manusia;
5. otonomi daerah yang seluas-luasnya;
6. redifinisi, reaktualisasi dan reposisi dwi fungsi ABRI; serta
7.
kebebasan pers.
Tanggal 21
Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil
Presiden BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia. Pemerintahan
Presiden Habibie mulai mengadakan usaha untuk mereformasi diri dengan
mewujudkan tuntutan-tuntutan reformasi tersebut di atas.
Menurut Suwoto Mulyo
Sudarmo, politik hukum yang harus digunakan untuk melakukan
reformasi setidak-tidaknya harus meliputi beberapa hal sebagai berikut.
1.
Mengurangi
kekuasaan Presiden dengan cara mendestribusikan kekuasaan secara vertikal dan
membagikan kekuasaan secara horisontal;
2. mengubah kekuasaan yang sentralistik dan
mengganti yang ke arah desentralistik;
3. meningkatkan peran DPR dalam melakukan pengawasan
terhadap kekuasaan eksekutif dan meningkatkan peran DPR di bidang legislatif;
4. mengubah struktur keanggotaan MPR dan
menggunakan sistem bikameral;
5. mengembalikan hak atas kedaulatan kepada
rakyat dengan cara melaksanakan pemilu dengan sistem distrik dan pemilihan
Presiden dan Wakilnya langsung oleh rakyat;
6. menjaga agar terjadi kekuasaan yang seimbang antara cabang-cabang kekuasaan
melalui sistem cek and balance;
7.
menata sistem peradilan
agar tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan;
8.
membangun
struktur perekonomian yang memberikan jaminan terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat;
9.
amandemen
konstitusi yang didalamnya memerinci hak asasi manusia, kewajiban penyelenggara
negara dan pembatasan atau pengendalian kekuasaan pemerintah (Suwoto Mulyo
Sudarmo, 1997: 45-46).
Menurut Arbi Sanit, substansi reformasi
politik harus menyangkut perubahan yang meliputi unsur sistem politik dan aspek
kehidupan politik. Aspek sistem politik yang harus dirubah menyangkut struktur,
kultur, proses dan produksinya.( Arbi Sanit, 1998: 105106).
Untuk mengakomodir desakan tuntutan reformasi,
MPR hasil pemilu 1997 mengadakan sidang istimewa tahun 1998. Salah satu
ketetapan MPR yang erat kaitannya dengan politik hukum kepartaian adalah
ketetapan MPR No. 14/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. 3/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang
di dalamnya mempercepat pelaksanaan pemilu berikutnya dari rencana semula tahun
2002 menjadi selambat-lambatnya harus diadakan pada bulan Juni 1999. Atas dasar
arahan kebijakan yang telah digariskan melalui berbagai ketetapan MPR yang
dihasilkan oleh MPR dalam sidang istimewa tersebut di muka, Pemerintah bersama
DPR melakukan perubahan berbagai undang-undang di bidang politik. Sebagai
hasilnya adalah ketika rancangan undang-undang (RUU Kepartaian, RUU Pemilu, RUU
Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) pada tanggal 28 Januari 1999 disetujui
secara aklamasi dalam rapat paripurna DPR yang kemudian pada tanggal 1 Pebruari
1999 disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Ketiga
undang-undang politik tersebut adalah :
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (LN
No. 2/1999. TLN No. 3809);
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu (LN No.
23/1999. TLN No. 3810);
3.
UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD (LN. 24/1999. TLN No. 3811).
Dengan berlakunya
undang-undang tersebut telah membuka babak baru perjalan sistem politik di
Indonesia, yaitu transformasi dari sistem sentralistik otoritarian ke arah
sistem politik desentralistik demokratis. (Arif Hidayat, 2006: 162).
Arif Hidayat antara lain menyatakan bahwa karakteristik menonjol
yang dapat dilihat undang-undang tersebut adalah:
1. Terjadi perubahan fundamental dalam sistem
kepartaian. Sistem multipartai dipakai untuk menggantikan sistem kepartaian
terbatas yang dianut oleh rezim orde baru.
2. Terjadi perubahan dan penambahan dalam asas,
organisasi penyelenggara, pengawas dan pemantau pemilu serta peserta pemilu.
3. Dilakukan penataan ulang susunan kedudukan
MPR, DPR, DPRD (Arif Hidayat, 2006: 162).
Kebebasan politik yang selama orde baru
terpasung, di era reformasi kungkungan itu lenyap dan berganti dengan munculnya
eforia kebebasan di semua bidang kehidupan. Dalam kehidupan politik, eforia
kebebasan ditandai dengan tumbuh dan menjamurnya partai-partai politik baru.
BAB VI
Penutup
A.
Kesimpulan
Indonesia
adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system demokrasi, di
mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat.Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.Para Bapak Bangsa yang meletakkan
dasar pembentukan Negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945.Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari
beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan
kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sistem politik
yang pernah berlaku di Indonesia antara lain : Sistem politik masa orde lama ,
orde baru , dan reformasi .
Sistem politik
Indonesia itu sendiri diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai
kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk
proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan,
seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Konstitusi
Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan
dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara
lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
UUD 1945 juga
mengatur hak dan kewajiban warga negara.Lembaga legislatif terdiri atas Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lembaga
Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
seorang wakil presiden dan kabinet.Di tingkat regional, pemerintahan provinsi
dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya
dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman
tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya.
B.
Saran
Bagi
para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan
ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar
lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan
judul “ SISTEM
POLITIK INDONESIA ”.
Kritik
dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah
makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif
dan kreatif.
0 komentar:
Posting Komentar